Sabtu, 09 Maret 2013

Wreck Diving, sambil menyelam belajar sejarah

Wreck Liberty menjulang dari kejauhan.

Finally ! Bali ! *norak deh :D* Maklum, buat penyelam pemula seperti kami, pengen banget donk coba nyilem di sana...Kami? ya, gw bareng 2 sahabat baik gw akhirnya berkesempatan ke Bali pertengahan tahun 2012 lalu. Bali memang cukup terkenal sebagai salah satu tempat Diving yang populer bagi wisatawan domestik maupun mancanegara, selain terkenal karena atraksi budaya dan pantainya yang indah. Kebetulan ada kesempatan ke sana, sayang banget donk kalau gak sekalian nyemplung... *emang niat awalnya begono...:p* Spot yang kami pilih adalah Tulamben, karena jika berbicara tentang wreck Diving di Indonesia, Wreck Liberty di Tulamben pasti menjadi salah satu spot wreck yang terbaik, tidak hanya terkenal di dalam, tapi juga di luar negri. Hmm...jadi makin gak sabar... :)

Wreck Liberty sendiri terletak di Desa Tulamben, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem, Bali. Dengan jarak kurang lebih 100 km dari Denpasar, Desa Tulamben dapat di tempuh dengan perjalanan darat menggunakan kendaran selama 2-3 jam dari bandara Ngurah Rai atau dari arah Bali barat dengan waktu tempuh yang sama, dengan cara menyusuri jalan sepanjang Bali utara seperti yang kami lakukan. Dengan bermodalkan mobil rental dan GPS kami percaya diri untuk keluyuran menuju Tulamben, untungnya pemandangan selama perjalanan "bohay" banget, eh salah, "bagus maksudnya :p". Setelah hampir 2 jam.. mulai "agak tandus" nih tempatnya, kayaknya udah mau nyampe, "itu Gunung Agung bukan? " , "Siippp !!"... Akhirnya sampai juga... Di sana kami bertemu Bang Komang yang akan menjadi Guide kami selama menyelam di daerah Tulamben dan sekitarnya. "Akhirnya kita nyilem broo !!" :D

Awalnya kami bertiga sempet kecewa ketika Bang Komang mengatakan "Visiblitynya kurang bagus hari ini..." , "Mungkin cuman 5-10 meter..." , "Nyantai aja bang, masih bagus itu... :p" Di bilang lagi kurang bagus-pun wisatawan asing masih cukup banyak yang diving di bangkai liberty siang itu. "Ok deh bang, besok pagi yah kita mulai nyemplung !". Pagi itu, seperti biasa banyak wisatawan asing yang datang untuk diving di tulmben. "Ok, siap ? Kita nyemplung yah..." , Bang komang sambil bersiap-siap merakit alat dan pake wetsuitnya. Asiiikk !! Gak sabar buat melihat bangkai kapal Liberty yang tersohor itu. Kamipun menapaki pantai berbatu khas tulamben, sambil sesekali di sambut ombak yang bahagia karena berhasil menjatuhkan salah satu teman saya, hahaha :D

Shore entry yang sangat menyenangkan :D

"Ok semua??" Bang komang-pun mengempeseken BCDnya dan mulai menuntun kami menyusuri pasir hitam yang konon katanya berasal dari letusan Gunung Agung. Tak lama kemudian tampak sebongkah besi besar menjulang, wrecknya gede banget bro !! Tampak bongkahan besi tua itu sudah tertutup dengan aneka macam Hard Coral, Soft Coral, dan Sponge yang begitu indah. Kami mulai di ajak Bang komang berkeliling ke bagian-bagian wreck tersebut, masuk ke dalam salah satu "Chamber" nya serta bagian-bagian celah lainnya seperti menjelajahi masa lalu, membayangkan betapa gagahnya kapal tersebut saat masih mengarungi lautan…Tsaahh !!

USAT adalah singkatan dari "United States Army Transport", USAT Liberty dibuat pada tahun 1918. Sebagai kapal kargo atau pengangkut barang, tugas utama USAT Liberty adalah melayani kebutuhan militer Amerika Serikat pada saat perang dunia II. Pada tanggal 11 januari 1942, dalam perjalanannya dari Australia menuju Filipina. Kapal USAT Liberty di tropedo oleh kapal selam jepang hingga mengalami kerusukan yang cukup parah, kemudian kapal di tarik ke arah Singaraja, menuju pelabuhan milik Belanda di Bali utara untuk di perbaiki. Namun kapal USAT Liberty tersebut telah kemasukan cukup banyak air dan akhirnya terdampar di termpat peristirahatannya sekarang, yaitu di Desa Tulamben, Bali. Begitulah dongeng singkat mengenai sejarah sang kapal, sekarang lanjut nyemplung lageee !! :D

Ok, sore menjelang malam, waktunya siap-siap night dive nih ! Penasaran dengan mahluk apa aja yang bakalan nongol di malam hari, rombongan kami pun mulai menyusuri badan kapal. Senter mulai di arahkan ke sana kemari, terlihat aktifitas hewan-hewan malam yang "terbangun" karena hilangnya matahari. Tiba - tiba suasana menjadi ramai, kami berempat kompak mengarahkan senter ke satu titik. Wah ! ternyata ada belut moray sedang ngudek2 lobang sodara-sodara...tanpa peduli nyala lampu senter yang di arahakan ke dia, sang moray sibuk menangkap kepiting yang berusaha kabur dari gigitan sang belut besar tersebut. Apes memang, menu makan malam si moray cuman sempet di icip2 doank sebelum akhirnya kabur ke bagian bawah kapal. Waduh, mudah-mudahan bukan karena kita senterin yah bos...maaf-maaf... :p Kayaknya sebel banget tuh dia, sesaat gw mikir gimana rasanya digigit belut dengan panjang 2 meter lebih itu, lagi sembunyi di lobang pas siang-siang aja udah nakutin :D Yah, walau tampaknya doi lagi bete karena gagal santap malam, dia gak kesel kok sama kita-kita...dengan santai dia berenang di bawah rombongan dan menghilang kedalam kegelapan, kita nya yang gak santai pas dia lewat...hahahaha

Si Moray yang tampaknya lagi bete karena gagal dapat menu santap malam :D
Uniknya, karena spot diving yang cukup ramai malam itu kami beberapa kali berpapasan dengan rombongan diver lain yang juga sibuk mengarahkan senternya kesana kemari, rame ajah...jadi gak kesepian deh diving di sini malem-malem...hehe :p Ternyata  ada juga yang menggunakan bangkai kapal liberty ini sebagai tempat tidur, kirain pada keluyuran semua penghuninya pas malem-malem. Bang Komang, menunjuk salah satu celah kapal, tampak seekor Bumphead Parrotfish sedang bobo di sana, "Oh...ternyata hotel tempat nginepnya di sini toh" , "Pantes tadi pagi rombongan Bumhead terlihat berenang dari arah bangkai kapal". Pukul 7:30, lama juga kami muter-muter di dalem air, waktunya naik, badan sudah mulai kedinginan dan perut terasa lapar :D Waktunya bilas-bilas dan makan !!


Di Posting oleh : Divo Ario Noercahyo



Sabtu, 19 Januari 2013

Asidifikasi Laut


Sejak terbentuknya laut hingga beberapa puluh dekade belakangan ini, laut memiliki stabilitas pH yang cukup sehingga mampu menyokong berbagai macam kehidupan di dalamnya. Keadaan berubah pesat ketika peradaban manusia memasuki era revolusi industri, dimana pembangunan di bidang industri telah berkembang secara cepat. Dampak revolusi industri meningkatkan kesejahteraan umat manusia secara drastis, namun di lain pihak penggunaan bahan bakar fosil merupakan awal mula campur tangan manusia terhadap kerusakan ekosistem. Era revolusi industri banyak menimbulkan hasil sampingan berupa limbah zat kimia berbahaya serta polusi gas yang hingga kini masih menjadi sorotan masalah pemanasan global yaitu emisi karbon dioksida (CO2).

Peneliti menemukan bahwa laut telah menjadi salah satu penyerap CO2 terbesar setelah hutan sehingga memperlambat dampak polusi gas CO2 terhadap atsmosfer bumi. Asidifikasi atau menurunnya pH pada suatu larutan hingga keadaan asam merupakan fenomena yang terjadi akibat adanya reaksi antara air laut dengan gas CO2. Reaksi antara air laut dengan gas CO2 tersebut akan membentuk asam karbonik yang akan menurunkan pH air laut terutama pada daerah didekat permukaan.
Gambar 1. Reaksi air dengan CO2 membentuk asam karbonik
Turunnya pH air laut menimbulkan dampak yang cukup besar terhadap makhluk hidup di dalam ekosistem laut. Dampak terbesar dialami oleh hewan karang yang sensitif terhadap suhu dan pH lingkungan. Karang akan berlendir sebagai respon terhadap lingkungan yang tidak sesuai terhadap kelangsungan hidup karang dan dampak terburuknya adalah matinya hewan karang sehingga terumbu karang memutih atau dikenal dengan bleaching.
               
Rusaknya terumbu karang akan memengaruhi kelimpahan dan keanekaragaman hewan lain yang berasosiasi dengan karang seperti ikan karang, molusca, dan invertebrata lainnya. Asidifikasi air laut juga memengaruhi ikan secara hormonal sehingga menyebabkan anomali reproduksi. Dampak secara langsung juga dialami kerang-kerangan yang tidak tahan terhadap pH rendah sehingga cenderung menghindari kedalaman yang dangkal. Semua hal tersebut akan merubah pola rantai makanan terutama organisme dengan posisi terbawah dalam rantai makanan.
               
Kurang lebih 22 juta ton gas CO2 yang dihasilkan oleh aktivitas manusia diserap oleh lautan setiap harinya. Kesadaran akan kerusakan yang terjadi di laut akibat ulah manusia ini perlu dibangun. Manusia harus mulai mampu untuk mengontrol emisi gas buang CO2 karena jika tidak, organisme laut akan berada di dalam tekanan untuk beradaptasi terhadap perubahan kimia air laut atau musnah karenanya.

oleh:
-Diklat SIGMA-B UI-

Sumber : http://ocean.nationalgeographic.com/ocean/critical-issues-ocean-acidification/?source=A-to-Z

Minggu, 14 Oktober 2012

[EVENT] Coral Reef and Its Research and Methods

Hello Biology UI students,

SIGMA-B UI presents Platlas (Pelatihan Kelas)
"Coral Reef and Its Research and Methods"
October 18th, 2012
4.00 pm
@ Ruang Seminar Lantai 2 Biologi UI*
     *(can be changed anytime)
Speaker: Dhamar Pramudhito, M.Si


[FREE]
Don't miss it. :D
For more information simply text to Yuyus 2010

Jumat, 12 Oktober 2012

Triggerfish



Triggerfish

Famili : Balistidae
Genus : Rhinecanthus
Group : Triggerfishes
Nama dagang : Trigger matahari

Ikan Trigger adalah ikan buas yang lazim di pelihara dalam aquarium, ikan ini pun dapat dikatakan ikan dari golongan predator yang memiliki rating terfavorit untuk di pelihara aquaris, terutama trigger kembang. Umumnya ikan jenis trigger ini adalah ikan yang banyak terdapat pada laut perairan Indonesia, tidak jarang nelayan menemukan Trigger dalam jaring atau kail pancingnya, pada kalangan nelayan lebih dikenal dengan sebutan ikan belah ketupat. Ikan ini termasuk musuh para nelayan, karena ikan ini memiliki gigi2 yg tajam, yang sering memutuskan tali pancing atau merobek jala nelayan.  Ikan ini pun terkenal musuh beratnya para penyelam, karena ikan ini akan mati-matian mempertahankan daerahnya dari siapapun mahkluk asing yang berenang mendekati sarangnya, sifat ikan ini yang cukup brutal dan beringas, tidak pernah takut menyerang lawannya meskipun berukuran jauh lebih besar.

Disebut ikan belah ketupat karena umumnya ikan jenis ini berbentuk menyerupai belah ketupat dan lainnya sedikit menyerupai segitiga. Meskipun tergolong ikan buas, namun umumnya species ini tidak sulit bertahan dalam akuarium, spesies ini tergolong ikan yang dapat memakan pakan apapun, selama pakan yang dihadirkan adalah pakan untuk golongan carnivora, ikan ini memiliki penciuman yang sangat tajam, meskipun dalam keadaan lampu aquarium mati dan ruangan gelap, ikan ini sanggup untuk mengetahui sebuah potongan udang segar yang kita cemplungkan ke dalam akuarium.

Apabila ikan tersebut sudah dipelihara cukup lama, bahkan ikan ini dapat makan potongan – potongan udang segar dari tangan kita sendiri, hanya saja harus extra hati – hati untuk melakukannya, karena gigi – gigi tajam dan besar siap merobek tangan kita sendiri apabila kita lengah. Ikan ini menjadi favorit para aquaris karena ikan tersebut ada dalam golongan ikan tidak beracun, seperti kita ketahui, beberapa ikan laut memiliki sifat racun neutroxic yang dapat langsung mengancam siapapun yang memegangnya.

Ikan ini sebenarnya tergolong ikan aktif pada siang dan malam hari, ikan golongan ini biasanya bermain – main pada siang hari, dan berburu pada malam hari. tips untuk anda yang tertarik memelihara ikan ini, buatlah celah dan goa – goa kecil untuk tempat berlindung ikan – ikan yang lebih kecil, karena ketika malam datang, ikan ini dapat mengancam kehidupan kawan – kawan lainnya yang berukuran lebih kecil.

Keindahan ikan ini biasanya selain dari bentuk yang unik, juga dari warna – warna yang indah, umumnya golongan trigger memiliki perpaduan warna yang cantik, contohnya trigger kembang, trigger matahari, triger liris dll. Untuk golongan ikan ini, penulis lebih menyukai jenis trigger matahari, karena menurut pengalaman saya memelihara spesies trigger, trigger matahari adalah jenis yang paling ramah dan tidak mengenal takut pada tuannya.


Ikan Trigger Kembang

Ikan cantik yang memiliki nama latin Balistoides conspicillum ini di Indonesia dikenal sebagai dengan nama Trigger Kembang. Hal ini dikarenakan pola dan corak warnanya mirip dengan corak dan warna sekuntum bunga. Sedangkan orang barat lebih suka menyebutnya dengan nama Clown Triggerfish atau Big Spotted Trigger.

Hampir semua penamaan dari ikan tersebut mengacu pada pola tubuhnya yang cukup menarik. Beberapa penghobi Ikan hias bahkan tidak ragu-ragu menyebut ikan ini sebagai ikan yang spektakuler. Trigger Kembang memang memikili corak yang spektakuler. Pada tubuhnya mulai dari bagian perut hingga menyebar hampir keseluruh tubuh di penuhi oleh pola-pola bulatan putih besar dengan dasar hitam.

Sedangkan dipunggungnya dapat dijumpai bercak-bercak loreng hitam dengan dasar kuning yang tampak memiliki batas tegas dengan pola dasar umum ikan tersebut.

Mulut Ikan Trigger Kembang ini berwarna kuning menyala dan dibatasi dengan garis vertikal hitam dan putih sebelum akhirnya menyatu dengan warna latar belakang. Sebuah “coretan” kuning atau putih tampak “menggaris bawah” matanya yang tajam.

Selain itu itu pada ekornya terdapat garis hitam dan putih vertikal dengan lebar garis yang proporsional. Pada bagian akhir ekor masih dijumpai warna putih atau kuning tipis yang apabila sedang berkembang penuh, maka tampak menunjukkan pesona kecantikannya.

Sedangkan di pangkal ekornya terdapat bentuk lain dengan corak yang berbeda. Dan pada punggungnya tampak sebuah duri kokoh keras yang bertengger disiripnya. Ini merupakan senjata untuk menakuti musuhnya.

Ikan Trigger Kembang tersebar mulai dari Afrika Barat hingga Durban, lalu dari Afrika Selatan ke Indonesia 
kemudian ke Samoa, Jepang, hingga ke ke Kaledonea Baru.

Ikan Trigger Kembang ini hidup di perairan yang berhubungan dengan terumbu karang pada kedalaman 1 hingga 75 meter. Makanan utamanya adalah landak laut, kepiting, udang-udangan dan moluska. Di alamnya Ikan Trigger Kembang ini bisa tumbuh hingga mencapai panjang 50 cm. Sedangkan dalam akuarium, jarang yang bisa mencapai panjang 50 cm. (Berbagai Sumber) 

http://www.iftfishing.com/fishing-guide/fishypedia/triggerfish


(Tim Kestari)

Minggu, 30 September 2012

Unforgettable CORAL

Halo-halo SIGMA B-UI’s readers yang tampan dan cantik,,
Masih inget kan, tanggal 30 Agustus— 2 September 2012, Sigma punya acara seru, namanya CORAL?

CORAL itu apa sih? Nah CORAL, it means Conservation Through Educational Travel.
Dari judulnya udah keliatan kan, "konservasi", that's the point guys. Acara CORAL bukan hanya fokus pada ekowisata, tapi juga mengajak masyarakat luas, terutama peserta CORAL, untuk berpartisipasi dalam usaha konservasi laut kita.

Dewasa ini, manusia banyak yang sudah mulai merusak alamnya sendiri, entah di darat, udara, bahkan laut. Nah, dengan acara CORAL ini, kami para SIGMA-ers bermaksud memperkenalkan dan memberi kesan tersendiri untuk para peserta CORAL pada tahun ini. Biasanya para peserta diutamakan untuk orang yang non Biologi, tapi bukan berarti orang Biologi ga boleh ikutan, boleh banget kok :D

Selain untuk menambah ilmu pengetahuan seputar biota laut, di acara CORAL ini juga pastinya dapat menambah pengalaman seru, kapan lagi dong bisa snorklingan dan melihat dunia bawah laut yang ga semua orang bisa liat kan? Dan ditambah lagi, bisa foto UNDERWATER pula, keren banget kan acara CORAL? :D

CORAL dilaksanakan di Pulau Pramuka. Panitia dan peserta berangkat menggunakan kapal dari Muara Angke. Di perjalanan laut menuju Pulau Pramuka kita disuguhkan pemandangan lautan lepas yang pastinya bikin hati tenang dan tentram hehe.

Secara umum konten acara CORAL yaitu pengenalan biota laut, snorkeling ke Pulau Semak Daun (plus foto underwater), BBQ party, pemutaran film, dan games menarik. Hmm saking buanyaaaaknya rundown acara CORAL jadi gabisa diceritakan semua disini.

So, langsung aja deh kita intip beberapa moment yang berhasil diabadikan selama acara CORAL, cekidot guys :)





























Photos by Coral's committee :)

The Cruelty and Illegality Of Killing Sharks for Fins

shark-finning
A recent report by wildlife trade monitoring group Traffic shows that Indonesia continues to be the biggest shark-catching country in the world, based on UN Food and Agricultural Organization data. 

Indonesia’s average annual reported shark catch in the past decade represents more than 13 percent of the reported global catch. Up to 65 percent of Indonesia’s catch is taken from the Pacific Ocean and the remainder from the Indian Ocean. In the Indian Ocean, Indonesia owns the major shark fleets, with average catches fluctuating between 8,500 to 16,500 tons per year in recent years.  

Most sharks are predators in coral reef and ocean ecosystems, sitting on top of the food pyramid and helping control the balance of the marine environment. 

Losing one of these predators leads to uncontrolled population growth of other species. Sharks eat sick or wounded organisms to help maintain the ecosystem’s health. Without them, the entire food chain would collapse. 

The practice of shark-finning has drawn a lot of attention and reactions. And since social media has made it even easier to report incidents, tourists and divers are now able to post their holiday observations. 

Likewise, the progress made in the United States and Hong Kong on increasing consumer awareness and the reduced availability of shark-fin soup in restaurants are also receiving a lot of media attention. There is now an increasing outcry for governments to stop shark-finning. 

“Finning” is a callous and careless practice in which sharks are caught, their fins sliced off, and their bleeding bodies thrown back into the water where they die a slow and painful death. Not only is this a cruel practice, it is illegal, inefficient and a waste of food resources. 

Scientists have also joined the international community’s call for urgent action on the shark-fishing industry, acknowledging that the market for shark fins will continue to grow because increased buying power will create a bigger consumer base. On top of that, target species in shark fisheries grow slowly and mature late with few offspring, hence they are easily overfished. 

The Indonesian government has had few legal tools in the past decades to prohibit or restrict shark fishing. Traffic suggests that the increase in shark and ray fishing in Indonesia has outgrown existing fisheries management approaches. 

The only regulation and law enforcement related to shark fisheries and shark products was for sawfish and the implementation of the regulations was only applied to monitoring and banning the rostrum trade rather than to regulate trade of other parts of the body as it was considered too difficult to identify the species. 

Pursuant to its membership in the UN Food and Agricultural Organization, Indonesia was mandated to develop a national plan to protect sharks. Recognizing the importance of developing management regulations specific to shark fisheries, a research project funded by the Australian Center for International Agricultural Research on artisanal shark and ray fisheries in Eastern Indonesia and their relationships with Australian resources, was undertaken in 2004 to develop a national plan of action. 

The plan identifies key issues for shark and ray management in Indonesia and broad strategies to address these as well as the competent authorities. However, there are two big challenges underlying the implementation of the plan for sharks. 

First is the considerable illegal shark fishing in Indonesian waters and some cases of corruption on the part of those charged with enforcement, and second is the predominance of the artisanal sector in shark catch. 

Without the willingness to change, and without any strong legal basis to protect sharks and ban finning, the national plan of action for sharks is not being implemented. 

Recently, the directorate of fisheries resources at the Ministry of Marine Affairs and Fisheries agreed to promulgate regulations — but not until 2013. 

WWF is identified as a partner in implementing the initiatives identified in the plan. We examined the laws on animal welfare and protection, and determined that even without a viable national plan of action, certain provisions of existing laws on animal welfare could be applied to implement a ban on shark-finning now.  

The two most prominent laws that support a ban on shark-finning are the Indonesian criminal code and Law No. 18/2009 on husbandry and animal health. 

Article 302 of the Indonesian criminal code prescribes imprisonment for up to nine months for anyone guilty of maltreatment of animals, which means anyone who “without reasonable objective or by overstepping what is permissible in reaching such objective, with deliberate intent” commits an act toward an animal resulting in illness longer than one week, mutilation, serious harm or death. 

Clearly, finning is a mutilation, and even if one were to argue that harvesting of shark fin for soup is a “reasonable objective,” finning can hardly be considered a permissible way to achieve it. 

Law No.18/2009 on husbandry and animal health contains potent provisions on animal welfare that clearly apply to sharks. Sharks are “animals” and “wild animals” under the law. The law’s definition of animal welfare is to protect animals “from any unreasonable action … against an animal that is beneficial to human beings.” Article 66 states that animals must be kept free from ill treatment, torture and misuse, subject to penalty. “Misuse” is defined as obtaining “satisfaction and/or profit” from animals by utilizing them “unreasonably,” e.g., “pulling out a cat’s claw.” Cats can live without their claws; sharks cannot live without their fins. 

Provisions on animal welfare apply to “all types of animals that bear backbone,” and even to spineless animals that can feel pain, such as crabs. If crabs are entitled to fair treatment, surely sharks deserve legal protection from finning. 

While the well-being argument will surely raise many eyebrows in a country where sharks are seen as man-eaters, and pro-poor development strategies are not supportive of restricting access to more or less free-for-all natural resources, the public should be aware that it is illegal, under existing animal welfare laws, to fin sharks, and that the government has neglected its obligation to implement the national plan of action. 

Proper management regulations on shark fisheries need to be enforced, allowing only for quota-based culling of shark populations that are not at an overfished level. 

In absence of any such comprehensive data, the government should consider completely banning all shark fishing, allow for stocks to recover, develop a meaningful stock monitoring program and only allow for shark fishing of species that are proven to be in healthy stock status, by communities in coastal areas with small-scale gear, in support of sustainable fisheries and livelihoods of those who need it most. It’s time for the government to act. 

Dr. Lida Pet-Soede is a leader of the WWF’s Coral Triangle Global Initiative in Jakarta. She oversees a diverse team working in cooperation with the governments, private sector and coastal communities of Indonesia, Malaysia, the Philippines, Papua New Guinea, East Timor and the Solomon Islands.


Source:
http://www.thejakartaglobe.com/ (September 16, 2012 )
Photo by Public Relations Team 2012 (Taken in Fish Market East Java, 30/07/11)

Rabu, 29 Agustus 2012

KONDISI LAUT DUNIA SEMAKIN MEMPRIHATINKAN


Pemanasan global akibat ulah manusia semakin mengancam kehidupan di bumi ini. Laut, yang meliputi sekitar 75% muka bumi dari tahun ke tahun menunjukkan reaksi karena kehancuran lingkungan.

  

Menurut konsultan Blue Planet BBC Profesor Callum Roberts, mulai dari paus hingga plankton, vitalitas laut berada dalam bahaya serius. Selama 30 tahun terakhir, tiga perempat megafauna laut dunia hilang dan seperempat karang mati.

Di Eropa utara, stok ikan berkurang hingga 99%. European Commission juga memperingatkan, spesies ikan cod, hake dan makarel akan menghilang dalam satu dekade mendatang.

“Laut berubah drastis 30 tahun terakhir di semua sejarah manusia. Dalam 40-50 tahun lagi, laut akan menjadi zona mati yang tak ada makhluk hidup di dalamnya,” katanya.

Kapal pukat harimau, jaring listrik dan jaring yang lebih besar menjadi sumber ancaman itu.

“Untuk mencegah hal tersebut, kita bisa mulai hanya memakan ikan yang bisa berkelanjutan. Mulai mendaur plastik dan mengurangi penggunaan fosfat,” papar Callum Roberts lagi.


Sementara, menurut National Research Council AS, peningkatan ketinggian air laut ini meningkatkan risiko banjir dan kerusakan akibat badai, erosi serta hancurnya lahan basah. Meningkatnya ketinggian laut telah lama dianggap sebagai konsekuensi perubahan iklim.

Seperti dikutip StraitsTimes, laporan meramalkan, pada tahun 2100, pesisir barat AS mulai dari batas Mexico hingga Cape Mendocino akan meningkat. Parahnya peningkatan yang terjadi lebih tinggi dari proyeksi yang ada sebelumnya diramalkan meningkat 50-140cm.

Bisa ditebak, dampaknya tidak hanya dirasakan di Amerika saja. Negara kita sebagai negara kepulauan mengalami ancaman lebih besar lagi. Hmmm..... 60 - 80 tahun mendatang, apakah Indonesia masih ada?
(Tim Humas)


Sumber : http://www.apakabardunia.com/2012/06/kondisi-laut-sedunia-semakin.html